Selasa, 21 Oktober 2008

Sahibul Hikayat: Zaman Edan dan Polemik Kebudayaan Jawa

Herry Mardianto

Persoalan yang selalu "mengundang perhatian", tumbuh dan berkembang di belahan negara manapun (termasuk Indone­sia) adalah persoalan ideologi, na­sionalisme, dan kebudayaan. Ketiga persoalan itu menjadi menarik karena tidak dapat dilepaskan dari persoalan politik, dan ketiganya berada dalam dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Jauh sebelum polemik kebudayaan berlangsung antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, per­soalan modernitas—tradisionalitas, Barat—Timur, sebe­narnya telah muncul perdebatan seru antara Tjipto Mangoenkoesoemo dengan Soetatmo Soerjokoesoemo pada saat pembukaan Volksraad (Dewan Rakyat) awal tahun 1918, yang kemudian dilanjutkan dan dikembangkan dalam Kongres Pengembangan Kebudayaan Jawa. Takashi Shiraisi menengarai perdebatan tersebut sebagai perdebatan dalam upaya mencari identitas antara nasionalisme Hindia (diwakili Tjipto Mangoenkoesoe­mo) dan nasionalisme Jawa (diwakili Soetatmo Soerjokoe­soemo). Debat kedua priyayi itu diterbitkan pada tahun 1918 dalam bentuk selebaran berjudul "Javaansche of Indische Nationalisme". Soetatmo berpendapat jika suatu bangsa seharusnya dibangun atas landasan bahasa dan kebudayaan serta sejarah yang sama dari suku Jawa; dengan demikian nasionalisme Hindia sebenarnya tidak mempunyai landasan kebudayaan karena merupakan produk pemerintah kolonial Belanda. Secara ekstrim ia menyatakan bahwa nasionalisme Jawa merupakan alat ekspresi diri bagi orang Jawa; sementara nasionalisme Hindia tidak lebih merupakan reaksi terhadap penjajahan Belanda atas Hindia‑‑oleh karena itu hanya nasionalisme Jawa yang memiliki landasan kuat, merupakan tempat bagi orang Jawa dalam membangun masyarakat politiknya di masa depan. Arah perkembangan kebudayaan Jawa telah ditentukan oleh sifat yang ada pada kebudayaan Jawa itu sendiri; dan tugas yang harus dilaksanakan masyarakat Jawa adalah mem­buat agar intisari kebudayaan Jawa berkembang melalui pendidikan moral dan budi pekerti. Sebaliknya, Tjipto Mangoenkoesoemo justru mengedepankan nasionalisme Hindia. Dalam pandangannya, kekurangan utama dalam wawasan Soetatmo ialah unsur perkembangan sejarah dunia‑‑orang Jawa seharusnya belajar dari pengalaman‑pengalaman sejarah orang Eropa. Zaman telah berubah dan dengan sendirinya orang Jawa ikut berubah. Untuk itu, peningkatan kesejahteraan merupakan langkah yang penting‑‑dengan demikian, orang Jawa harus belajar ilmu pengetahuan dan teknologi Barat.
Uraian di atas menggarisbawahi bahwa Soetatmo menganjurkan kebangkitan kembali kebudayaan Jawa sebagai satu‑satunya jalan keluar dari zaman edan. Kebangkitan kembali itu ditempuh dengan cara menghidupkan kembali hubungan kawula‑gusti. Sebaliknya, Tjipto melihat bahwa (dengan timbulnya pergerakan) zaman edan telah berakhir; evolusi dan pembebasan Jawa dapat terwujud hanya apabila rakyat dititisi jiwa satria sejati: kelu­huran moral melalui perlawanan tanpa kompromi terhadap penindasan dan pemerasan Belanda beserta priyayi terhadap rakyat.
Polemik di atas dapat dipandang sebagai awal sejarah perkembangan intelektual Indonesia modern, mempunyai efek kuat terhadap munculnya perdebatan Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane. Hingga dasawarsa abad ke‑XX, perdebatan tersebut terus relevan dipresen­tasikan; misalnya dalam diskusi mengenai "Barat‑universal‑asing" versus apa yang diyakini sebagai "Timur‑lokal‑ pribumi/asli". Demikian pula setiap kali apa yang dipan­dang sebagai "kebudayaan nasional" atau "kepribadian bangsa" didiskusikan, maka munculah persoalan bagaimana menempatkan "kebudayaan lokal/kesukuan" dan "warisan masa lampau" dalam mengembangkan "kebudayaan nasional". Polemik kebudayaan tersebut mau tidak mau teraktualisasi dalam gagasan atau ide yang tertuang dalam karya sastra. Dalam tataran ini kita harus berpegang pada suatu hipotesis bahwa pembentukan kesusastraan merupakan pembangunan sebuah wilayah sastra yang di dalamnya para sastrawan dapat merealisasikan diri sebagai subjek yang bebas dan mandiri (bdk. Faruk, 1994:55). Dengan demikian, pembentukan kesusastraan Jawa (juga) berfungsi sebagai sarana bagi penyebaran gagasan mengenai dunia ideal di mana orang‑orang Jawa secara keseluruhan dapat merealisasikan dirinya dengan cara yang sama, bebas, dan mandiri.

Subkultur Etnik, Bahasa, dan Identitas Keindonesiaan


Herry Mardianto

Fenomena yang menarik dalam perkembangan karya sastra Indonesia adalah munculnya beberapa karya sastra yang berusaha mengedepankan subkultur berbagai budaya daerah sebagai elemen pembentuk cerita. Novel Siti Nur­baya (Marah Rusli, 1922) dan Azab dan Sengsara (Merari Siregar, 1921) berupaya mengangkat subkultur ranah Mi­nangkabau, novel Orang Buangan (Harijadi S. Hartowardoyo, 1971) dan novelet Sri Sumarah dan Bawuk (Umar Kayam, 1975) memperkenalkan budaya Jawa, Pulau (Aspar, 1976) menampilkan subkultur Bugis atau Makasar, Upacara (Korie Layun Rampan, 1978) menampilkan latar subkultur masyara­kat Kalimantan, dan Bila Malam Bertambah Malam (Putu Wijaya, 1971) mengedepankan subkultur Bali. Kemudian pada tahun 1983 Mangunwijaya mencoba mengangkat subkultur Ternate lewat novel Ikan‑Ikan Hiu, Ido, Homa. Upaya pengedepanan berbagai subkultur tersebut setidaknya membuktikan bahwa karya sastra mampu menunjukkan fungsinya yang khas, merefleksikan kehidupan sosial budaya dan mencerminkan pengaruh timbal balik antara faktor sosial dan kultural masyarakat dari wilayah tertentu (di Indone­sia). Hal ini mengisyaratkan betapa pentingnya mempertim­bangkan eksistensi sastra sebagai medium komunikasi budaya; di samping karya sastra harus dipelajari dalam konteks yang seluas‑luasnya, sebab karya sastra merupa­kan hasil pengaruh timbal‑balik yang rumit dari faktor‑faktor sosial dan kultural, sastra memaparkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial. Sistem nilai, adat kebiasaan, dan intuisi‑intuisi yang hidup dalam masyarakat dihayati oleh sastrawan dan diendapkan dalam dirinya untuk kemudian diungkapkan kembali lewat karya sastra yang memiliki spesifikasi estetik imajinatif.
Dalam menciptakan cerita rekaan, tentu saja pengarang asal Yogyakarta memiliki spesifikasi karena dunia ciptaan mereka memiliki wacana estetika yang dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Hal ini setidaknya tercermin dari pemilihan diksi dan atau pemanfaatan bahasa dan ungkapan, hadirnya tokoh, tema, dan latar cerita yang khas Jawa. Untuk memahami prosa lirik Pengakuan Pariyem, misalnya, ada semacam tuntutan bagi pembaca untuk memahami sedikit banyak ciri‑ciri formal bahasa dan latar belakang kema­syarakatan serta kebudayaan Jawa (cf. Djawanai, 1982:2). Penggunaan kata weton dalam prosa lirik ini tentu sudah diperhitungkan dengan matang oleh Linus Suryadi karena maknanya berbeda dengan jika ia menggunakan kosa kata hari lahir (dalam bahasa Indonesia). Kata weton berkaitan dengan hari pasaran yang selalu diperhitungkan orang Jawa untuk menentukan hari baik, jodoh, maupun nasib hidup manusia. Djawanai menjelaskan bahwa implikasi konsep weton sangat luas dan dalam bagi kehidupan budaya Jawa‑‑setidak‑tidaknya yang tradisional‑‑tidak saja menyangkut hal‑hal lahiriah tetapi lebih‑lebih lagi yang menyangkut persiapan batin dalam menjalani kehidupan lahiriah. Warna lokal Jawa dalam Pengakuan Pariyem di­perkuat oleh munculnya konsep‑konsep filosofis tradisional, seperti agama ageming ati (hlm. 15), madeg, mantep, madhep (hlm. 22), asih, asah, asuh (hlm.23), dan seba­gainya. Dalam Burung‑Burung Manyar (YB. Mangunwijaya, 1981), untuk menimbulkan kesan wingit dan angker, Mangu­nwijaya memilih menggunakan kata penunjuk waktu hari Selasa Kliwon. Bagi orang Jawa, hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon merupakan hari keramat. Orang Jawa memper­cayai bahwa pada saat itu banyak roh jahat berkeliaran. Di samping itu masyarakat Jawa percaya bahwa jika ada orang yang meninggal pada hari Selasa Kliwon maka mayatnya harus dijaga agar tidak "digondol" orang untuk menda­patkan ilmu hitam atau agar menjadi kaya (hlm. 118). Sama seperti Pengakuan Pariyem, karya Mangunwijaya juga menam­pilkan ungkapan‑ungkapan Jawa, seperti urip mung mampir ngombe, tresna marga kulino, dan sebagainya. Selebihnya latar lokal Jawa dalam Pengakuan Pariyem ditandai dengan penampilan Pariyem sebagai profil wanita Jawa tradisio‑ nal
Secara intrinsik (dalam konteks struktur karya), warna lokal selalu dihubungkan dengan unsur latar, penokohan, gaya bahasa, dan suasana. Tidak berlebihan jika Budi Darma (1988:20) melontarkan gagasan bahwa kecenderungan untuk menghayati subkultur etnik seperti yang diperjuang­kan oleh Umar Kayam, Linus Suryadi, dan sebagainya merupakan suatu usaha untuk memperkokoh identitas keindonesiaan, usaha untuk menghayati salah satu tradisi yang berpartisipasi dalam mewujudkan konsep (ke)budaya(an) Indonesia.

Selasa, 14 Oktober 2008

YOGYAKARTA TANPA UMBU DAN PSK....

Bukanlah hal berlebihan jika hampir sepuluh tahun silam Dorethea Rosa Herliany, penyair wanita kelahiran Magelang, mengemukakan pendapat bahwa untuk melihat sastra Indonesia modern secara strategis dapat dilakukan dengan mengamati perkembangan kesusastraan di Yogyakarta. Alasannya karena pertumbuhan kesastraan di Yogyakarta memiliki dinamika yang tidak kehabisan sisi menariknya: berbagai peristiwa dapat menjadi "intuisi" untuk iklim pertumbuhan kesenian, sastra Yogya tidak mengalami stagnasi; di samping banyaknya penerbitan karya sastra dalam bentuk buku sebagai kontribusi pengembangan peta kesusastraan Indonesia modern. Lepas dari gagasan Dorethea, kenyataannya persoalan dunia berkesenian di Yogyakarta sangat penting dibicarakan mengingat tidak seorang pun dapat menyangkal strategisnya posisi Yogya­karta dalam perkembangan dan pengembangan kesenian di Indonesia; munculnya sejumlah seniman dengan peran yang tidak dapat diabaikan—baik dari persoalan demokratisasi maupun penawaran konsep estetika berkesenian—dan dominasi kota Yogyakarta sebagai pusat kegiatan bersastra di luar Jakarta. Asumsi itu dapat dipahami karena produk­tifnya kota Yogyakarta melahirkan seniman dalam iklim pergaulan kepengarangan yang kondusif, kompetitif dan kental di kalangan para peminat seni/sastra. Nama besar Kuntowijoyo, Mangunwijaya, Umar Kayam, Rendra, Emha Ainun Nadjib (untuk menyebut beberapa nama) tidak dapat dilepaskan dari komunitas kehidupan kesenian (kesastraan) di Yogyakarta. Selebihnya, kota Yogyakarta menyediakan lahan subur yang relatif lebih istimewa dibandingkan dengan kota‑kota lain. Pemikiran‑pemikiran tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari sisi historis perkembangan karya seni di Yogyakarta yang menurut Sutrisno Kutoyo (1977:18) sudah ada sejak zaman neolitikum. Khusus seni sastra, sudah berkembang dengan baik sejak pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V dengan lahirnya kesusastraan keraton. Situasi tersebut didukung oleh hadirnya kesusastraan Pura Pakualaman (Pangeran Notokusuma sebagai perintis) dengan nominasi karya Serat Darmowijarat karya KGPAA Paku Alam III. Ditambah lagi dengan pendirian sebuah universitas terbesar di Indonesia yang pada gilirannya menarik banyak generasi muda datang ke Yogyakarta, mendorong berdirinya lembaga‑lembaga pendidikan baru yang membuat Yogyakarta sebagai wilayah dengan potensi seniman dan intelektual muda yang cukup tangguh.
Selebihnya, hadirnya Umbu Landu Paranggi dan Suwarno Pragolapati, menghidupkan berbagai tradisi kesusastraan (kepenyairan) Yogyakarta, menciptakan tradisi saling asah serta memberikan banyak warna. Lepas dari nilai tambah itu, Umbu Landu Paranggi (seperti juga penilaian Korrie Layun Rampan dalam buku Suara Pancaran Sastra) bukanlah tokoh yang mengagumkan, karena karya‑karyanya lebih banyak disimpan di laci meja dari pada dipubli­kasikan. Ia bukanlah Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji, atau Sapardi Djoko Damono yang dianggap "terdepan" dalam penciptaan puisi. Umbu lebih terkedepan sebagai apre­siator dan pemberi motivasi di kalangan ”sastrawan” cap Malioboronan. Jika kemudian ada gagasan puisi masuk desa, Umbu telah melakukannya dua langkah lebih maju dengan Persada Studi Klub di Yogya atau Sanggar Minum Kopi di Bali. Di sisi lain, hampir keseluruhan tadisi kepenyairan Yogya tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan Ragil Suwarno Pragola­pati.
Dalam konteks perjalanan sastra Indonesia di Yogyakarta, Umbu Landu Paranggi telah melakukan pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan penyair (sastrawan) di Indone­sia. Sejak tahun 1969 bersama Ragil Suwarno Pragolapati, Teguh Ranusastra, Ipan Sugiyanto Sugito, Soeparno S. Adhy, Iman Budhi Santoso, dan Mugiyo­no Gito Warsono, ia memproklamirkan berdirinya Persada Studi Klub (PSK) yang bermarkas di mingguan Pelopor Yogya. Dalam mingguan tersebut, Umbu membuka rubrik sastra dan budaya dalam dua klasifikasi, yaitu "Persada" dan "Sabana". Para penulis pemula akan digodok dalam tataran "Persada" sampai akhirnya mereka mampu menembus tataran "Sabana". Para penyair kelas "Sabana" lazimnya dapat disejajarkan dengan para penyair yang menulis di majalah Horison dan Basis. Selain itu, atas prakarsa Umbu Landu Paranggi, secara berkesinambungan pada setiap hari Minggu di tro­toar Malioboro diadakan acara apresiasi sastra, pembacaan puisi, dan mengeluarkan pernyataan‑pernyataan budaya yang layak diperhitungkan.
Berbicara mengenai Umbu Landu Paranggi tidak dapat dilepaskan dari cerita mengenai Ragil Suwarno Prago­lapati. Alasan ini dikemukakan mengingat kedua tokoh tersebut sama‑sama berjasa dalam memberi warna hitam-putih bagi kehidupan sastra Indonesia di Yogyakarta. Tidak terlalu salah jika ada yang menilai bahwa sejak tahun 1965‑‑1990 dalam sejarah perkembangan kesastraan di Yogyakarta, Ragil Suwarno Prago­lapati tidak pernah berhenti menjadi pembina para penulis muda di Yogyakarta. Hampir keseluruhan tadisi kepenyairan Yogya tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan Ragil Suwarno Pragola­pati, seorang penyair kontroversial yang "raib" secara misterius ketika sedang melatih olah sastra lima orang muridnya di Bukit Semar, Parangendog, Parangtritis, Yogyakarta, pada 15 Oktober 1990. Pasca peristiwa yang mengejutkan berbagai pihak itu, banyak kalangan sastra­wan (tidak hanya sebatas yang berada di Yogyakarta) bertanya‑tanya: siapa yang akan meneruskan berbagai tradisi kepenyairan Yogya (terutama yang berkaitan dengan pembinaan para penyair muda) yang sebelumnya banyak dimotori dan dipelihara oleh Ragil? Bahkan salah seorang redaktur sastra di sebuah harian terkemuka terbitan Jakarta menegaskan: tanpa Ragil, kegiatan sastra di Yogyakarta tidak akan menjadi ”gayeng” seperti sekarang ini. Meskipun demikian, tidak seperti kehadiran Umbu yang terus dinilai positif dalam menumbuhkembangkan kehidupan sastra, keberadaan Ragil tidak luput dari penilaian negatif karena kebiasaannya yang terlalu gampang melegitimasi penyair‑penyair pemula. Kemudahan yang diberikan Ragil disinyalir sebagai penyebab terjadinya inflasi penyair pada per­tengahan akhir dasawarsa tahun 1980‑an di Yogyakarta. Asumsi terakhir ini hanya memiliki satu jawaban yang pasti: walahu a’lam bi shawab alias embuh aku ora ngerti! (Herry Mardianto, peminat sastra).